![]() |
| Harta |
Harta di dalam
bahasa Arab disebut dengan al-mal atau dalam bentuk jamaknya adalah al-amwal.
Menurut kamus al-Muhith, tulisan al-Fairuz Abadi, disebutkan bahwa harta
adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai).[1] Sementara
itu dalam bahasa Inggris perkataan yang menunjukkan pengertian tentang harta
adalah property, yang berarti sesuatu yang bisa dimiliki baik yang bisa
dirasa, seperti bangunan, ataupun yang tidak bisa dirasakan dalam bentuk fisik.
Contoh dalam hal ini adalah harta intelektual, seperti hak cipta.[2]
Sedangkan
menurut istilah syar’I harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan
pada sesuatu yang legal
menurut hukum syara’ (hukum Islam), seperti jual-beli (al-bay’),
pinjaman-meminjam (‘ariyah), konsumsi dan hibah atau pemberian
(an-Nabhani, 1990). Berdasarkan pengertian tersebut, maka segala sesuatu yang
digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari disebut
dengan harta. Seperti uang, tanah, rumah, kendaraan, perhiasan, perabotan rumah
tangga, hasil peternakan dan perkebunan, dan juga pakaian semuanya termasuk
dalam kategori al-amwal, harta kekayaan.
Kepemilikan
merupakan suatu ikatan seseorang dengan hak miliknya yang disahkan sesuai
syariah. Kepemilikan juga berarti hak khusus yang didapatkan si pemilik harta
sehingga ia mempunyai hak untuk menggunakan barang atau harta tersebut sejauh
tidak melanggar batasan syariah.
Hakikat Hak Milik
وَأَتوُهُمْ
مِنْ مَّـالِ اللهِ الَّذِى ءَاتاَكُمْ ج
Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta
Allah yang telah Dia berikan kepada kalian. (QS. Al-Nur: 33)
Sebagian yang
belum memahami tentang hakikat kepemilikan harta pasti akan beranggapan bahwa
harta yang dimilikinya saat ini adalah mutlak miliknya, karena harta ini
merupakan hasil dari jerih payah usaha mereka tiap harinya, sehingga ia tidak
ingin harta yang ia miliki jatuh kepada orang lain. Tapi ada pula sebagian yang
beranggapan bahwa memang harta yang ia miliki saat ini merupakan miliknya, tapi
ia sadar jika dalam harta yang ia miliki juga terdapat hak milik orang lain,
sehingga ia pun merasa mempunyai kewajiban untuk memberikan sebagian hak harta
miliknya kepada orang yang berhak menerimanya.
Lalu siapakah
yang memiliki harta di dunia ini sebenarnya?
Ini merupakan
sebuah pertanyaan mendasar tentang hakikat kepemilikan harta yang memiliki
implikasi yang sangat luas. Tidak saja berpengaruh terhadap sikap
kepemilikannya, namun lebih jauh lagi yang berpengaruh terhadap mekanisme hak
milik dan pemanfaatannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami
dengan benar tentang hakikat kepemilikan harta, supaya kita tidak terjebak
dalam sikap-sikap kepemilikan yang bertentangan dengan hukum syara’.
Hakikat hak
kepemilikan harta adalah sebagai berikut:
1.
Allah adalah pencipta dan
pemilik harta yang hakiki
Di dalam
ayat-ayat al-Quran, Allah swt. kadang-kadang menisbatkan bahwa kepemilikan
harta itu merupakan mutlak milik Allah swt. Seperti ayat dalam surat al-Nur
ayat 33 yang dicantumkan di atas, yang menyatakan bahwa “harta tersebut milik
Allah”. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan kata مِنْ مَالِ
اللهِ, yang bermakna “sebagian dari
harta Allah swt”. Ayat ini telah mempresentasikan bahwa Allah-lah pemilik
mutlak atas harta yang ada di dunia. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun
yang menjadi pemilik harta secara hakiki kecuali Allah swt.
2.
Allah menganugerahkan
kepemilikan harta kepada manusia
Setelah
menyatakan bahwa Allah adalah pemilik harta yang hakiki, masih dalam ayat yang
sama, Allah kemudian menganugerahkan hartanya kepada umat manusia.
Penganugerahan ini merupakan bentuk “kasih sayang” Allah kepada umat manusia.
Namun, Allah swt memberikan sebagian harta-Nya kepada manusia setelah manusia
itu berupaya mencari kekayaan, maka jadilah manusia tersebut “mempunyai” harta.
Dalam beberapa ayat al-Quran kadangkala menyebutkan bahwa harta sebagai milik
manusia. Misalnya:
وَلاَ تَـأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بـاِلْبــاطِلِ
Dan
janganlah kalian saling memakan harta kalian dengan jalan bathil. (QS.
Al-Baqarah: 188)
وَلاَ
تـَقْرَبـُواْ مـاَلَ الْيَتـِيْمِ إِلاَّ باِلَّتـىِ هِيَ أَحْسَنُ حَتىَّ
يَبـْلُغَ أَشُــدَّهُ صلى
Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa.
(QS. Al-An’am: 152)
Berdasarkan
ayat-ayat di atas, dan ayat-ayat yang serupa lainnya, memberikan penjelasan
bahwa jika harta disandarkan kepada manusia berarti dimiliki oleh manusia
sebatas hidup di dunia dan itu pun bila diperoleh dengan cara yang legal
menurut syariah Islam. Dan dapat dikatakan pula bahwa harta hakikatnya merupakan
milik Allah swt., sedangkan manusia hanyalah pemilik harta yang diberi kuasa
oleh Allah swt. agar manusia berupaya untuk mendapatkan dan memanfaatkan harta
tersebut. Secara tegas Allah swt. menyatakan:
وَأَنــْفِقُوْا مِمَّـا جَعَلَكُمْ مُّسْتـَخْلِفِيْنَ فِيـْهِ
صلى
Dan
nafkanlah apa saja yang telah Allah jadikan kuasa bagimu. (QS. Al-Hadid: 7)
Suatu ketika
Rasulullah Saw telah besabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi,
Rasulullah Saw bersabda: “tidaklah salah seorang di antara kamu, makan suatu
makanan lebih baik daripada memakan hasil keringatnya sendiri”. Rasulullah
Saw. memuji orang yang bekerja mencari harta. Adanya kata-kata pujian tersebut
menunjukkan perintah untuk mencari harta dengan cara bekerja.
3.
Harta adalah fasilitas bagi
kehidupan manusia
Setelah
dijelaskan bahwa Allah adalah “pemilik harta” yang hakiki di dunia ini, yang
kemudian dianugerahkan harta tersebut kepada seluruh umat manusia dimana harta
tersebut (yang dianugerahkan Allah kepada manusia) merupakan fasilitas bagi
kehidupan manusia di dunia. Allah-lah yang telah memberikan segalanya kepada
manusia, termasuk harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Secara tegas Allah
Swt berfirman tentang hal ini dalam surat al-Baqarah ayat 29, yang berbunyi:
هُوَ اَّلذِيْ خَلَقَ لَكُمْ
مَّا فِى اْلأَرْضِ جَمِيْعًا
Dialah
(Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian
semuanya. (QS. Al-Baqarah: 29)
Dalam surat
al-Naba’ ayat 6-16, Allah Swt pun berfirman, yang artinya:
Bukankah
Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai
pasak? Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan, dan Kami jadikan tidurmu untuk
istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk
mencari penghidupan, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan
kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah supaya Kami tumbuhkan dengan
air itu biji-bijian, tumbuh-tumbuhan dan kebun-kebun yang lebat. (QS.
Al-Naba’: 6-16)
Dari ayat-ayat
di atas sudah jelas menyatakan, bahwa Allah Swt. telah menciptakan semua harta
yang ada di dunia ini. Dan tentu saja itu semua Allah anugerahkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk lainnya.
Hak Milik
Status manusia
mempunyai sifat yang khas, selaras dan sejalan dengan konsep hak milik dalam Islam.
Sedangkan konsep kapitalisme maupun komunisme sangat berbeda dan bertolak
belakang dengan konsep yang diajarkan oleh Islam mengenai hak milik. Tak
satupun dari kedua sistem di luar Islam tersebut (kapitalisme dan komunisme)
yang berhasil menempatkan individu/pribadi selaras dalam suatu tatanan
kehidupan sosial. Kebebasan dalam hak milik individu merupakan dasar dari
konsep kapitalisme; dan penghapusan atas hak milik individu merupakan sasaran
pokok dari ajaran sosialisme.[3]
Konsep
kapitalisme tentang kepemilikan ini merupakan bagian dari empat pokok kebebasan
yang diinginkan kaum mereka, yaitu (1) kebebasan beragama (freedom of
religion); (2) kebebasan berpendapat (freedom of speech); (3)
kebebasan kepemilikan (freedom of ownership); dan (4) kebebasan bertingkah
laku (personal freedom).[4] Sedangkan
kaum sosialisme menghapuskan hak milik pribadi/individu dan mengalihkan semua
hak milik menjadi hak milik negara.
Paham
kapitalisme memberikan kebebasan sepenuhnya kepada seluruh rakyat untuk
mempunyai hak kepemilikan. Para pribadi/individu bebas untuk menguasai semua
faktor-faktor produksi, baik itu berupa sumber daya alam, alat-alat produksi,
tenaga kerja maupun modal. Dengan demikian, secara kuantitas penganut
kapitalisme tidak membatasi kepemilikan.
Namun demikian,
dalam kapitalisme, kebebasan kepemilikan kekayaan yang tidak terbatas tidak
lepas dari sebuah kecaman bahwa mereka (kaum kapitalisme) turut bertanggung
jawab atas kesenjangan kekayaan dan pendapatan secara mencolok. Sehingga pada
akhirnya menyebabkan suatu kesenjangan yang tak terkendali. Si kaya menjadi
lebih kaya, dan si miskin menjadi jauh lebih miskin.
Keseimbangan
antara hal-hal berlawanan yang terlalu dilebih-lebihkan sangat dijaga dan
dipelihara dalam Islam. Tidak hanya dengan mengakui hak milik pribadi, melalui
peringatan-peringatan moral, Islam juga menjamin pembagian kekayaan yang
seluas-luasnya dan paling bermanfaat melalui lembaga-lembaga yang didirikannya.
Atas seizin
Allah Swt., manusia memiliki kekuasaan untuk memiliki “harta atau barang dari”
Allah Swt. Itu berarti, ketentuan-ketentuan syara’ membatasi hak untuk
memiliki, memanfaatkan, mengembangkan serta untuk mendistribusikannya.
Menurut
pandangan Islam, hak milik dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok, yaitu: hak
milik individu/pribadi (al-milkiyah al-fardiyah), hak milik umum (al-milkiyah
al-‘ammah) dan hak milik negara (al-milkiyah ad-daulah).[5]
1.
Hak Milik Pribadi (al-milkiyah
al-fardiyah, Private Property)
Hak milik
individu/pribadi merupakan sesuatu yang mendasar, bersifat permanen, penting,
melekat pada eksistensi manusia dan bukan merupakan fenomena sementara. Hak
milik individu tidaklah mutlak, tetapi dibatasi oleh kewajiban yang dibawanya.
Individu dapat menikmati hak-haknya, tetapi ia juga mempunyai kewajiban
tertentu terhadap masyarakat. Individu harus membuktikan bahwa ia hanyalah
perwakilan dalam memegang harta, yang sebenarnya merupakan milik Allah Swt.[6]
Jika kita
mengkaji dan mempelajari hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan cara-cara
seseorang mendapatkan harta yang sah dan halal, maka akan tampat bahwa sumber
sahnya hak milik pribadi adalah melalui bekerja, warisan, pemberian negara
kepada rakyat, saling menolong/hubungan yang halal antar manusia.
2.
Hak Milik Umum (al-milkiyah
al-‘ammah)
Kepemilikan
umum atau kolektif dimungkinkan (dibolehkan) dalam ajaran Islam, yaitu jika
suatu benda memang pemanfaatannya diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Karakteristik barang yang merupakan hak milik umum adalah seperti:
a.
Merupakan fasilitas umum,
dimana jika benda ini tidak ada di dalam suatu negeri atau komunitas, maka akan
menyebabkan sengketa dalam pencariannya;
b.
Bahan tambang yang relatif
tidak terbatas jumlahnya; dan
c.
Sumber daya alam yang sifat
pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh orang secara individu.
Seperti jalan, jembatan, irigasi, sungai, dan lain sebagainya.
3.
Hak Milik Negara (al-milkiyah
ad-daulah)
Pada dasarnya
hak milik negara merupakan hak milik umum, tetapi dalam segi pengelolaannya hak
tersebut menjadi wewenang negara. Negara/pemerintah mempunyai hak untuk
mengelola hak milik ini, karena ia merupakan representasi kepentingan rakyat.
Hak milik negara dapat dialihkan menjadi hak milik individu jika memang
kebijakan negara menghendaki demikian.
Sebab-sebab Kepemilikan
Sebab-sebab
terjadinya kepemilikan dapat dikemukakan dalam beberapa alasan, yaitu:[7]
- Ihraz
al-Mubahat, yaitu cara kepemilikan melalui penguasaan harta yang belum
dimiliki seseorang, badan hukum (yang dalam Islam disebut sebagai mubahat).
Seperti, mengambil kayu di hutan belantara yang belum dimiliki seseorang.
- Melalui
transaksi (akad), seperti transaksi jual-beli.
- Warisan,
yaitu harta yang diperoleh seseorang dari peninggalan warisnya.
- Tawallud
min Mamluk, harta yang berasal dari suatu harta yang telah dimiliki,
seperti anak kambing yang lahir dari seekor kambing yang telah dimiliki,
buah dari kebun yang dimiliki, bagi hasil dari tabungan investasi dan
hasil dari saham di perusahaan.
- harta
pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
- Harta
yang diperoleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga
apapun, seperti:
a. Hubungan pribadi (hibah
atau hadiah);
b. Tebusan (diyat) dari
qishash kepada ahli waris yang memaafkan pembunuh;
c. Mendapatkan mahar melalui
akad nikah;
d. Luqathah (barang
temuan); dan
e. Santunan yang diberikan
kepada khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya (melaksanakn tugas
pemerintahan).
[1]
Asas-Asas Ekonomi Islam, M. Sholahuddin, hlm. 40
[2]
Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Nurul Huda dan
Mohamad Heykal, hlm.11
[3]
Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Abdul Mannan
[4]
Lihat Demokrasi Sistem Kufur, Haram Mengambilnya, Menerapkannya dan
Menyebarluaskannya, Abdul Qodim Zallum, hlm. 9. Yang diambil dari, Asas-Asas
Ekonomi Islam, M. Sholahuddin, hlm. 63
[5]
Asas-Asas Ekonomi Islam, M. Sholahuddin, hlm. 66
[6]
Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Nurul Huda dan
Mohamad Heykal, hlm. 5
[7]
Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Nurul Huda dan
Mohamad Heykal, hlm.11

No comments:
Post a Comment